Memenangkan perang seratus tahun
Setelah Charles V naik tahta di tahun 1364, ia mulai memperbaiki sistem dalam kerajaan. Perang seratus tahun dengan Inggris yang belum berhenti dan diperpanjang karena Prancis gagal menepati janji. Langkah Charles V yang pertama adalah memilih ksatria dan ahli perang untuk mengomando pasukannya. Dipilihlah Betrand de Gueslin, pemimpin komando yang brilian. Dari sana, Prancis dapat memenangkan pertempurannya dan memiliki banyak aset militer. Inggris dapat dipukul mundur dan Prancis juga dapat menghindari kerugian materi akibat perang tersebut.
Merencanakan Serangan Balasan
Perang Salib tak lepas dari kisah tentang dua tokoh sejarah besar yang telah mendominasi jalannya Perang Salib III, yakni Saladin dan Richard I The Lionheart. Sejak akhir abad ke-12, Perang Salib lebih sering digambarkan sebagai duel pribadi antara dua sosok pemimpin militer beda kubu tersebut.
Bahkan, banyak sekali karya-karya lukisan pada abad pertengahan yang menunjukkan Richard I The Lionheart dan Saladin terkunci dalam pertempuran tunggal satu lawan satu. Adegan ini sebenarnya adalah fiksi. Richard dan Saladin tidak pernah benar-benar bertemu secara langsung satu sama lain. Meski demikian, pasukan mereka terlibat dalam beberapa pertempuran selama Perang Salib III berlangsung, tulis Nicholson Helen dan David Nicole dalam God’s Warriors: Crusaders, Saracens and The Battle For Jerusalem (2005).
Perang Salib III mulanya akan dipimpin oleh Frederick I Barbarossa dari Jerman, Philip II Augustus dari Prancis, dan Richard I The Lionheart dari Inggris yang akan melawan Salahhudin Al-ayubi di pihak lawan. Akan tetapi, hanya Raja Philip II Augustus dan Richard I The Lionheart yang benar-benar sampai ke Yerusalem karena nasib nahas menimpa Raja Frederick I. Dia tewas tenggelam dalam balutan baju zirahnya di sungai Goksu dekat Kastil Silifke di wilayah Selatan Turki.
Selain motif agama, Paus Gregorios VIII juga memiliki motif politik yang kuat di balik seruan Bull Audita Tremendi yang melatarbelakangi ekspedisi Perang Salib III. Motif tersebut menurut Carole Hillenbrand dalam Perang Salib Sudut Pandang Islam, hlm. 32-34 (2005) adalah agar pertengkaran menahun antara Kerajaan Prancis dan Inggris yang melemahkan kekuatan kerajaan Kristen Eropa, bisa segera mereda jika mereka bersatu dalam satu tujuan bersama.
Hal tersebut dalam pandangan Paus Gregorius VIII akan mengalihkan energi perangdua kerajaan yang berselisih itu, sekaligus dapat mengurangi ancaman langsung bagi masyarakat Eropa akibat perang berkepanjangan yang mereka lakukan. Ide Paus ini hanya berhasil dalam waktu singkat. Kedua raja, yakni Raja Philip II Augustus dan Richard I The Lionheart pada kenyataannya hanya mampu menyisihkan perbedaan pendapat dalam rentang waktu beberapa bulan selama berlangsungnya ekspedisi tersebut.
Pada tahun-tahun setelah kemenangan besarnya di Hattin dan Yerusalem pada 1187, kekuatan politik dan militer Saladin mulai menurun. Perpecahan dalam dunia Islam mulai muncul kembali, dan upaya Saladin menaklukkan benteng tentara salib yang tersisa masih menuai kegagalan.
Pada musim dingin 1187–1188, Saladin menyerang pelabuhan tentara salib terakhir di Titus, tetapi kota itu berhasil dipertahankan oleh Conrad dari Montferrat, bangsawan Italia yang baru tiba di Yerusalem.
Tak lama kemudian, Saladin membebaskan Raja Guy de Lusignan yang sebelumnya telah mengambil sumpah darinya untuk tidak kembali memeranginya. Hal ini kelak akan menjadi salah satu keputusan paling mahal yang pernah diambil Saladin. Tak lama setelah dibebaskan, Raja Guy de Lusignan bertemu uskup yang mengataan padanya bahwa sumpah yang diambil kepada orang kafir (baca: Muslim) tidak mengikat bagi orang Kristen.
Pada Agustus 1189 Raja Guy berhasil mengumpulkan beberapa ribu pengikutnya yang masih setia untuk melakukan pengepungan terhadap Kota Acre--salah satu pelabuhan terpenting di pantai Mediterania. Raja Guy menempatkan pasukannya di sebuah bukit rendah yang disebut Gunung Toron, hampir satu mil di sebelah timur Acre (The Third Crusade, hlm. 110).
Infografik Mozaik Kekalahan Saladin di Perang Salib III. tirto.id/Lugas
Serangan cepat dari pasukan Saladin yang jumlahnya lebih banyak bisa saja menghabisi kaum Frank, tapi dia terlalu hati-hati dan mengatur posisi bertahan sekitar enam mil jauhnya ke tenggara Acre. Selama satu setengah tahun berikutnya, pengepungan Acre masih menemui jalan buntu. Kaum Frank berkemah di parit antara tentara Saladin dan garnisun Muslimnya di dalam kota.
Pasukan Salib kemudian terus membanjiri Acre, salah satunya pasukan Conrad de Montferrat yang sering disebut sebagai gelombang pertama kedatangan tentara salib dari Eropa pada Perang Salib III. Meski demikian, kaum Frank tidak dapat menghancurkan tembok kuat yang mengelilingi kota tersebut.
Musim dingin tahun 1189 dan 1190 sangat keras, kekuatan kedua belah pihak--Tentara Salib dan pasukan Muslim—dilemahkan oleh penyakit menular dan kekurangan bahan makanan yang semakin terasa. Meski demikian, kota Acre masih berhasil menahan serangan gencar yang dilakukan oleh gabungan tentara Frank milik Guy dan Conrad de Montferrat.
Pada permulaan tahun 1191, Saladin menerima kabar bahwa Raja Inggris dan Prancis beserta pasukannya tengah dalam perjalanan menuju Acre untuk membantu pengepungan. Pasukan Raja Prancis tiba pada 20 April 1191. Raja Philip II Augustus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membangun strategi pengepungan dan melecehkan para prajurit Muslim yang berada di dalam benteng kota.
Dua bulan kemudian, tepatnya pada 8 Juni 1191, Raja Richard The Lionheart dari Inggris juga tiba dengan 25 kapal untuk membantu Tentara Salib dengan melakukan blokade laut.
Keterampilan taktis dan kemampuan militer Richard The Lionheart membuat perbedaan besar bagi jalannya pengepungan. Hal ini memungkinkannya mengambil alih komando Pasukan Salib. Pada 2 Juli 1191, 200 armada besar kapalnya tiba.
Karena kian terdesak dari darat dan laut, pada 11 Juli 1191 Saladin memutuskan untuk melancarkan serangan penghabisan terhadap lebih dari 50.000 Tentara Salib yang mengepung di luar benteng, namun kegagalan. Akhirnya pada 12 Juli 1191, tepat hari ini 830 tahun silam, Acre jatuh ke tangan Raja Richard I The Lionheart dan Philip II Augustus. Ini adalah kekalahan pertama Saladin dalam pertempuran di Yerusalem sejak dia berkuasa pada Oktober 1187.
Nationalgeographic.co.id – Raja Charles III telah resmi dinobatkan menjadi raja Kerajaan Inggris. Dia dinobatkan karena garis keturunan leluhurnya.
Namun, dulu di awal kerajaan berdiri, apa yang membuat seorang bisa menjadi raja? Apakah otoritasnya atas penduduk di suatu wilayah atau kekuasaannya di suatu wilayah? Apakah mungkin karena seseorang mengenakan mahkota sehingga ia diangkat menjadi raja?
Ini adalah pertanyaan kunci untuk menentukan kapan dan mengapa suatu kerajaan berkembang. Contohnya, dalam kasus Kerajaan Inggris, siapa raja pertama di Inggris, sebelum singgasana kerajaan itu kini diduduki oleh Raja Charles?
Sejarah mencatat, Aethelstan dinobatkan sebagai Raja Anglo-Saxon pada tahun 925 dan konsensus ilmiah menempatkannya sebagai raja pertama Inggris. Jawaban ini terkesan singkat, tetapi cerita sejarahnya cukup panjang dan berbelit untuk diuraikan dan disepakati.
Cerita dimulai dengan Angles
“Untuk benar-benar mulai menemukan raja pertama Inggris, seseorang harus mulai dengan Angles,” tulis Melissa Sartore di laman National Geographic.
Nama England atau Inggris berasal dari kata Inggris Kuno Englaland, yang secara harfiah berarti tanah para Angles. Kedatangan suku-suku Jermanik ini ke tempat yang dulunya merupakan provinsi Romawi Britannia itu terjadi pada abad ke-5. Di samping Jute, Saxon, dan Frisia, Angles mendirikan permukiman di tenggara dan timur Inggris selama abad ke-6.
Seiring waktu, bahasa dan budaya Jermanik menyatu dengan praktik dan tradisi Romawi-Inggris yang ada. Pada tahun 600 Masehi, masing-masing kerajaan terbentuk di seluruh Kepulauan Inggris.
Kerajaan Jermanik ini dibentuk sesuai dengan orang-orang yang tinggal di suatu daerah, berlawanan dengan batas atau perbatasan fisik. Belakangan, kerajaan-kerajaan yang lebih kecil bergabung menjadi lebih besar, dan apa yang disebut Heptarkhia muncul.
Heptarkhia adalah penyederhanaan yang sangat besar dari pengaturan sosial, politik, dan agama yang kompleks di Inggris. Heptarkhia dibentuk dari tujuh kerajaan: Wessex, Kent, Sussex, Mercia, East Anglia, Northumbria, dan Essex.
Setiap kerajaan besar mencakup kerajaan kecil dengan pemimpinnya sendiri. “Banyak di antaranya bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dalam lingkup pengaruh yang lebih besar,” tambah Sartore.
Aturan diciptakan dan dipertahankan melalui hubungan timbal balik yang didasarkan pada kesetiaan dan perlindungan. Sistem ekonomi bergantung pada iuran dan layanan yang terkoordinasi.
Peran Mercia dan bretwalda
Kerajaan-kerajaan besar di Inggris saling bersaing untuk menjadi yang teratas. Pada akhirnya menghasilkan perjuangan yang berputar di sekitar Kerajaan Mercia yang mendominasi kerajaan lain selama sebagian besar abad ke-8.
Ini mirip dengan apa yang dijelaskan Bede dalam Ecclesiastical History. Di sana disebutkan ada seorang penguasa yang "berkuasa" atas orang-orang di luar kerajaannya sendiri.
Kronik Anglo-Saxon menggunakan istilah bretwalda untuk mewakili konsep ini. Kronik itu menerapkan istilah tersebut pada raja-raja Anglo-Saxon yang memerintah sejak akhir abad ke-5.
Sejarah mencatat, hegemoni Mercia akhirnya bergeser, terutama pada masa pemerintahan Raja Eghbert dari Wessex (memerintah 802-839 Masehi). Di bawah Raja Eghbert, Wessex mengalahkan bangsa Mercia di pertempuran Ellendon pada tahun 825 Masehi. Setelah itu kerajaan-kerajaan besar mengakui supremasinya.
Kronik Anglo-Saxon mengidentifikasi Raja Eghbert sebagai seorang bretwalda. Identifikasi tersebut berfungsi sebagai inti dari dasar argumentasi sebagian orang bahwa Eghbert adalah raja pertama Inggris.
Apakah Raja Eghbert benar-benar bisa disebut sebagai raja pertama Inggris? Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Wessex di bawah kendali Eghbert memang berhasil melakukan suksesi damai untuk keturunannya. Namun, kekuasaan kerajaannya belum benar-benar luas di Tanah Inggris.
Setelah kematian Eghbert, sang putra Aethelwulf naik takhta. Seorang putra yang naik tahta setelah kematian ayahnya ini menanamkan prinsip suksesi turun-temurun di Wessex.
Setelah kematian Raja Aethelwulf, tiga putranya menjabat sebagai Raja Wessex, yang akhirnya mengarah pada suksesi yang keempat pada tahun 871 Masehi. Ini adalah Alfred, pesaing lain yang juga kerap dianggap sebagai Raja Inggris pertama.
Alfred, penguasa yang tidak terduga
Alfred seharusnya tidak pernah memerintah Wessex. Ketika kakak laki-lakinya Aethelred meninggal saat berkampanye melawan perampok Skandinavia, Alfred menjadi raja.
Sebagai Raja Wessex, Alfred terus mempertahankan kerajaannya dari apa yang disebut Kronik Anglo-Saxon sebagai Great Heathen Army. Terdiri dari orang Denmark, Norwegia, dan Swedia, Great Heathen Army pertama kali tiba di Anglia Timur pada tahun 865 Masehi. Dalam satu dekade, satu-satunya kerajaan yang bertahan adalah Wessex.
Setelah mengalahkan pasukan Skandinavia di Pertempuran Edington pada tahun 878 Masehi, Alfred membuat perjanjian damai dengan pemimpin mereka, Guthrum. Perjanjian itu secara resmi menetapkan batas antara Wessex dan wilayah yang dikuasai Viking.
Namun, kehadiran permanen Skandinavia di utara, serangan Viking yang terus berlanjut, mendorong Alfred untuk mengambil langkah mengamankan kerajaan. Dia mereformasi militer dan mendirikan permukiman pertahanan. Alfred juga mendirikan angkatan laut untuk mempertahankan pantai Wessex dari serangan.
Bersamaan dengan upaya ini, Alfred melakukan aktivitas intelektual yang dianggap membantu menciptakan identitas budaya dan politik Inggris. Semua ini — dan penunjukan Alfred sebagai Raja Anglo-Saxon— menjadi alasan kuat untuk menyebutnya sebagai raja pertama Inggris.
Aethelstan, raja pertama Inggris
Alfred meninggal pada tahun 899 Masehi dan putranya, Edward the Elder, naik takhta. Edward memerintah sampai tahun 924. Setelah kematiannya, putranya Aethelstan dimahkotai sebagai raja pada tahun 925 Masehi.
Sama seperti kakek dan ayahnya, Aethelstan memulai sebagai Raja Anglo-Saxon. Dia berbeda dalam luas wilayah kekuasaannya, terutama setelah Pertempuran Brunaburh pada tahun 937 Masehi.
Pada akhir masa pemerintahan Aethelstan, dia mencapai lebih banyak sentralisasi birokrasi dan administrasi daripada para pendahulunya. Oleh para sejarawan, ia dianggap sebagai raja pertama Kerajaan Inggris.
Otoritas Aethelstan tidak pernah terbantahkan. Menurut Kronik Anglo-Saxon, dia juga menjadi raja yang membawa wilayah York dan Northumbria.
Pada tahun 937, raja-raja Skotlandia, Viking Dublin, dan sebagian Wales bersatu melawan Aethelstan. Mereka bertempur di Brunanburh.
Lokasi pasti Brunanburh masih belum jelas. Namun pertempuran yang terjadi di sana dianggap oleh banyak sarjana sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah Inggris.
Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan Aethelstan di Brunanburh. Hasilnya, kekuasaan Raja Anglo-Saxon semakin meluas hingga ke Skotlandia dan Wales. Itu juga memperkuat kekuasaannya atas seluruh Inggris.
Baca Juga: Kerap Bernasib Buruk, Benarkah Nama Raja Charles Membawa Kutukan?
Baca Juga: Bintang Afrika, Berlian Kontroversial di Tongkat Kerajaan Charles III
Baca Juga: Sejarah Dramatis Mahkota St Edward yang Digunakan Raja Charles III
Aethelstan hanya hidup selama 2 tahun setelah pertarungan tersebut. Namun bagi banyak orang, dia menjadi raja Inggris pertama yang sebenarnya dengan kemenangan itu.
Pada akhir masa pemerintahan Aethelstan, dia mencapai lebih banyak sentralisasi birokrasi dan administrasi daripada para pendahulunya. Maka tidak heran jika sejarawan menganggap ia sebagai raja pertama Kerajaan Inggris.
Kerajaan itu masih bertahan hingga sekarang, dengan Raja Charles yang kini melanjutkan takhta tersebut.
78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Membangun tempat besejarah
Charles V mempunyai julukan a builder, atau si raja pembangun. Di masanya, ia membangun beberapa tempat penting dan bersejarah. Dia membangun Istana Louvre untuk jadi tempat tinggal raja-raja selanjutnya, yang sekarang kita kenal dengan Museum Louvre. Banyak lukisan, patung, dan karya seni bersemayam di museum ini. Dia juga turut mendirikan kastil Saint-Germain-en-Laye dan kastil Vincennes. Selain itu, Ia juga membangun Bastille yang kemudian menjadi tempat bersejarah atas Revolusi Prancis.
Charles V memiliki musuh yang juga memiliki nama sama dengannya, yaitu Raja Charles dari Navarre. Charles dari Navarre selalu berusaha menggulingkan dinasti Valois dan menyingkirkan Charles V dari singgasananya. Charles dari Navarre pernah meracuni Charles V yang menyebabkan kesehatannya berangsur-angsur memburuk. Namun, Charles V dapat pulih kembali. Charles V akhirnya meninggal di tahun 1380 karena penyakit tuberkulosis yang dideritanya.
Mendapat Gelar “Le Sage”
Dalam sejarah, Charles mendapatkan gelar le sage yang artinya raja bijaksana. Dia mendapatkan gelar tersebut karena kisah hidup, perjalanan, dan dedikasinya selama menjadi raja. Meskipun, ia mendapat pendidikan dan hak istimewa sebagai anak raja, Charles V tumbuh dalam gejolak konflik dan peperangan saat masih muda. Ia banyak menyaksikan kematian keluarganya, termasuk ibunya yang meninggal karena wabah.Walaupun tumbuh dalam kesulitan dan kesengsaraan, itu tidak menjadikan Charles V sosok yang garang. Charles V sangat berbeda dengan karakter ayahnya yang berani, jantan, dan percaya diri, sangat cocok sebagai pemimpin militer. Sedangkan Charles V adalah sosok yang lembut, rendah hati, dan pendiam. Itulah mengapa Charles V menghabiskan seluruh hidupnya untuk membenahi intelektual dan ilmu pengetahuan di negerinya. Charles V bahkan memiliki perpustakaan besar di istananya yang diisi oleh ribuan buku. Gelar le sage yang ia dapatkan adalah simbol dari kepemimpinannya yang damai, selaras, dan keputusan-keputusan yang ia ambil selama menjabat. Ia menghindari hidup hedon dan glamor seperti raja-raja terdahulu, dan memilih untuk mendedikasikan waktunya untuk ilmu pengetahuan. Sehingga, peradaban Prancis menjadi maju.Nah, itulah 7 fakta raja Charles yang pandai berfilosofi dan mencintai sastra. Ia dapat membawa Prancis pada zaman keemasan dan melepaskan diri dari kebodohan waktu itu. Ia menjadi simbol kebijakan dalam sejarah raja-raja Prancis. Mungkin ada satu hal yang bisa kamu teladani dari Charles V, bahwa ilmu pengetahuan adalah tombak untuk menopang kehidupan. Dengan wawasan dan pendidikan, maka dapat menciptakan suatu peradaban yang kuat.
Baca Juga: Sering Dilupakan, 5 Monarki Kuno di Turki Sebelum Ottoman
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
- Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz diketahui memiliki 13 anak dari tiga istrinya. Dari 13 anak itu, Raja Salman hanya memiliki satu putri yang bernama Putri Hussa. Sisanya merupakan para pangeran yang menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan Saudi.
Istri pertamanya bernama Sultana binti Turki Al Sudairi, yang merupakan saudara sepupunya sendiri. Dengan Sultana, Raja Salman memiliki enam anak -- lima laki-laki dan satu perempuan -- yakni Pangeran Fahd, Pangeran Ahmed, Pangeran Sultan, Pangeran Abdulaziz, Pangeran Faisal, dan Putri Hussa.
Pangeran Fahd dan Pangeran Ahmed telah meninggal dunia pada tahun 2001 dan 2002 lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pangeran Sultan bin Salman Foto: arabnews.com
Seperti dikutip dari situs
, Rabu (1/3/2017), Pangeran Sultan bin Salman yang lahir tahun 1956, kini menjabat sebagai Ketua Komisi Pariwisata dan Warisan Nasional Saudi (SCTH). Dia juga
dan pemimpin direksi King Salman Center for Disability Research (KSCDR).
Pangeran Sultan tercatat sebagai anggota keluarga Kerajaan Saudi pertama, juga warga Arab dan warga muslim pertama yang terbang ke luar angkasa. Dia terbang ke luar angkasa dengan
pada Juni 1985 lalu. Mantan pilot Angkatan Udara Saudi tersebut merupakan anggota keluarga kerajaan pertama yang menjadi astronot.
Pangeran Faisal bin Salman Foto: SPA/arabnews.com
Pangeran Abdulaziz bin Salman yang lahir tahun 1960, diketahui menjabat Wakil Menteri Urusan Perminyakan Saudi sejak tahun 1995. Kemudian Pangeran Faisal bin Salman yang lahir tahun 1970 kini menjabat Gubernur Provinsi Madinah. Pangeran Faisal memiliki gelar doktor Hubungan Internasional dari kampus bergengsi Oxford di Inggris.
Sementara Putri Hussa binti Salman yang lahir tahun 1974, diketahui banyak terlibat proyek-proyek amal di Saudi. Dia juga dikenal aktif memperjuangkan peningkatan peran kaum perempuan Saudi di berbagai bidang.
Istri kedua Raja Salman bernama Sarah binti Faisal Al-Subai'ai. Dari pernikahannya dengan istri keduanya, Raja Salman hanya memiliki satu putra bernama Pangeran Saud. Tidak banyak hal yang diketahui tentang Pangeran Saud bin Salman. Namun berbagai informasi menyebut Pangeran Saud bin Salman banyak berkiprah dalam berbagai aktivitas amal. Dia diketahui telah menikah dan memiliki satu anak laki-laki.
Pangeran Mohammed bin Salman Foto: SPA/arabnews.com
Dengan istri ketiganya yang bernama Fahda binti Falah bin Sultan Al Hithalayn, Raja Salman juga memiliki enam anak yang semuanya laki-laki. Keenam anaknya itu antara lain Pangeran Mohammed, Pangeran Turki, Pangeran Khalid, Pangeran Nayif, Pangeran Bandar, dan Pangeran Rakan.
Pangeran Mohammed bin Salman yang lahir tahun 1985 menjadi sosok yang cukup menonjol. Dia terpilih menjadi Wakil Putra Mahkota Saudi dan juga menjabat sebagai Wakil Kedua Perdana Menteri Saudi. Pangeran Mohammed juga mencetak sejarah sebagai Menteri Pertahanan termuda di dunia.
Pangeran Turki bin Salman (duduk) Foto: arabnews.com
Adiknya, Pangeran Turki bin Salman yang lahir tahun 1987, menjabat Pemimpin Dewan Direksi
selama setahun, sebelum mengundurkan diri tahun 2014 lalu. Dia juga dikenal sebagai pengusaha.
Pangeran Khalid bin Salman, menurut
, merupakan seorang pilot jet tempur F-15 yang ikut serta dalam koalisi melawan kelompok radikal
(ISIS) di Suriah pada September 2014 lalu. Sementara untuk ketiga putra bungsu Raja Salman, yakni Pangeran Nayif, Pangeran Bandar dan Pangeran Rakan, tidak banyak informasi yang bisa diketahui.
Pangeran Khalid bin Salman Foto: Getty Images/thetimes.co.uk
tirto.id - Al-Malik al-Nasir Yusuf Ibn Najm al-Din Ayyub Ibn Shahdi Abu’l-Muzaffar Salah al-Din, atau oleh Pasukan Salib dikenal dengan nama Saladin adalah pahlawan terbesar Muslim dalam sejarah Perang Salib (1095-1291). Banyak kronik menyebutkan dirinya adalah sosok bijaksana yang memiliki keberanian luar biasa. Di samping itu, dia juga dikenal sebagai pemimpin politik dan militer yang mumpuni.
Untuk perkara yang disebutkan terakhir, terdapat testimoni yang ditulis oleh Ibn Syaddad—salah seorang hakim militer Saladin yang banyak menulis tentang cerita kegemilangannya dalam Perang Salib—sebagaimana dikutip ulang oleh Carole Hillenbrand dalam Perang Salib: Sudut Pandang Islam (2005), hlm. 219:
“Sebagai seorang panglima dan mujahid agung tentu saja mendapat tempat yang membanggakan. Ia begitu dikenal oleh para prajurit biasa di pasukannya, menciptakan ikatan-ikatan kesetiaan dan solidaritas, dan memperbaiki moral hukum. Dia berjalan melintas di antara seluruh pasukan dari sayap kanan hingga kiri, dengan menciptakan rasa persatuan dan mendorong mereka untuk maju dan berdiri kokoh pada saat yang tepat.”
Dalam pertempuran di lembah Hattin pada 3-4 Juli 1187, Saladin menang telak atas penguasa Yerusalem, Raja Guy de Lusignan. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya pada 2 Oktober 1187, Saladin berhasil menaklukkan kota Yerusalem. Semenjak itu, namanya menjadi begitu terkenal sekaligus ditakuti oleh dunia Kristen Eropa.
Pada akhir Oktober 1187, ketika berita tentang kemenangan Saladin di Hattin dan jatuhnya kembali Yerusalem ke tangan tentara Muslim mulai terdengar di Eropa, orang-orang sangat terkejut.
Sebagaimana ditulis David Nicole dalam The Third Crussade 1191: Richard the Lionheart, Saladin and the struggle for Jerusalem (2006), Paus tua, Urban III terkejut dan lemah karena kabar jatuhnya Yerusalem ke tangan tentara Muslim. Ia meninggal karena kesedihan yang mendalam atas yang terjadi di Yerusalem.
Pada 29 Oktober 1187, penggantinya, Paus Gregorius VIII, mengeluarkan seruan terkenalnya yang disebut Bull Audita Tremendi sebagai tanggapan atas jatuhnya kembali Yerussalem di tangan tentara Muslim. Isi dari Bull Audita Tremendi adalah gambaran mengenai kengerian Pertempuran Hattin dan merinci kekejaman yang dilakukan tentara Muslim setelahnya.
Tak hanya itu, dalam seruannya tersebut Paus Gregorius VIII juga menyalahkan kaum Frank atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan di negara-negara tentara salib. Ia juga bersikeras bahwa orang Kristen yang tinggal di Eropa juga turut bertanggung jawab atas yang telah terjadi di Yerusalem.
Di seluruh Eropa, orang-orang sangat tersentuh akan maklumat Paus tersebut. Banyak yang tertarik untuk bergabung mengabdikan diri sebagai bagian dari Tentara Salib karena jaminan penebusan dosa yang ada dalam Bull Audita Tremendi.Dari situlah titik balik Perang Salib III atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Salib Para Raja.
Militer bukan keahliannya
Meskipun dapat memenangkan perang seratus tahun, Charles sadar bahwa keahliannya bukanlah terletak pada militer. Kesehatannya yang buruk juga membuat dia tidak bisa berangkat ke medan perang. Jadi, ia memilih untuk berinvestasi pada pendidikan. Charles membangun citranya sebagai raja yang cinta ilmu pengetahuan. Charles V digambarkan sebagai seorang yang suka membaca dan sangat akademis. Ia menggunakan istananya untuk tempat kuliah dan bertukar ilmu pengetahuan. Tanpa ragu, ia mengadakan debat politik antara guru dan filsuf. Ia kemudian dikelilingi oleh orang-orang cerdas dan tercerahkan pada saat itu, seperti Nicolas Oresme dan Raoul de Presles. Saat mengambil keputusan Charles V cenderung mendengarkan para menteri dan lebih menghindari peperangan.
Baca Juga: Masih Jarang Disadari, Ini 5 Monarki yang Terpengaruh oleh Yunani Kuno
Penguasa Kerajaan Prancis telah berkuasa sejak pendirian Kerajaan Francia Barat pada tahun 843 hingga keruntuhan Kekaisaran Kedua Prancis pada tahun 1847, dengan beberapa interupsi. Mulai dari periode Raja Karl yang Botak pada tahun 843 hingga Raja Louis XVI pada tahun 1792, Prancis mempunyai 45 raja yang pernah berkuasa. Dengan menambahkan 7 kaisar dan raja yang berkuasa setelah terjadinya Revolusi Prancis, total seluruh penguasa Prancis adalah sebanyak 52 orang.
Pada Agustus 843, Perjanjian Verdun membagi negeri kaum Franka menjadi tiga kerajaan, satu di antaranya (Francia Tengah) tidak bertahan lama; dua lainnya berkembang menjadi Prancis (Francia Barat) dan, nantinya, Jerman (Francia Timur). Pada saat itu, wilayah bagian timur dan barat negeri tersebut sudah memiliki bahasa dan budaya yang berbeda.
Pada awalnya, kerajaan ini dikuasai terutama oleh dua dinasti, Karoling dan Robertian, yang memerintah secara bergantian dari tahun 843 hingga 987, ketika Hugh Capet, leluhur dinasti Kapetia, naik takhta. Para penguasa kerajaan ini menggunakan gelar "Raja Orang Franka" hingga akhir abad kedua belas; penguasa pertama yang memakai gelar "Raja Prancis" adalah Philippe II yang memerintah dari tahun 1180 hingga 1223. Dinasti Kapetia terus berkuasa dari tahun 987 hingga 1792 dan sekali lagi dari tahun 1814 hingga 1848. Namun, cabang-cabang dinasti Kapetia yang berkuasa setelah tahun 1328, umumnya diberi nama khusus Valois (hingga tahun 1589), Bourbon (dari tahun 1589 hingga 1792 dan dari tahun 1814 hingga 1830), dan Orléans (dari 1830 hingga 1848).
Dalam kurun waktu singkat ketika Konstitusi Prancis 1791 berlaku (1791–92) dan setelah Revolusi Juli tahun 1830, gelar "Raja Rakyat Prancis" mulai digunakan sebagai ganti gelar "Raja Prancis". Hal ini merupakan inovasi konstitusional yang dikenal dengan istilah monarki populer, yang menghubungkan gelar raja dengan rakyat Prancis ketimbang kepemilikan wilayah Prancis.[1]
Bersama dengan Wangsa Bonaparte, "kaisar Prancis" berkuasa di Prancis pada abad ke-19 antara tahun 1804 dan 1814, sekali lagi pada tahun 1815, dan antara tahun 1852 dan 1870.
Dari abad ke-14 hingga tahun 1801, raja Inggris (dan kemudian Britania Raya) mengklaim takhta Prancis, meskipun klaim tersebut hanya murni sebatas nama kecuali pada periode singkat selama Perang Seratus Tahun ketika Henry VI dari Inggris memiliki kendali atas sebagian besar wilayah Prancis Utara, termasuk Paris. Pada tahun 1453, sebagian besar orang Inggris sudah diusir dari Prancis dan klaim Henry sejak saat itu dianggap tidak sah; historiografi Prancis umumnya tidak mengakui Henry sebagai raja Prancis.
Gelar "Raja Orang Franka" (bahasa Latin: Rex Francorum) berangsur-angsur hilang setelah tahun 1190, selama masa pemerintahan Raja Philippe II (tetapi gelar FRANCORUM REX terus digunakan, contohnya oleh Louis XII pada tahun 1499, oleh François I pada tahun 1515, dan oleh Henri II sekitar tahun 1550). Gelar ini digunakan pula pada koin hingga abad kedelapan belas.[a] Dalam kurun waktu singkat ketika Konstitusi Prancis 1791 berlaku (1791–92) dan setelah Revolusi Juli tahun 1830, gelar "Raja Rakyat Prancis" mulai digunakan sebagai ganti gelar "Raja Prancis (dan Navarra)". Hal ini merupakan inovasi konstitusional yang dikenal dengan istilah monarki populer, yang menghubungkan gelar raja dengan rakyat Prancis ketimbang kepemilikan wilayah Prancis.[1]
Selain Kerajaan Prancis, berdiri pula dua Kekaisaran Prancis, yang pertama dari tahun 1804 hingga 1814 dan sekali lagi pada tahun 1815, didirikan dan dikuasai oleh Napoleon I, dan yang kedua dari tahun 1852 hingga 1870, didirikan dan dikuasai oleh keponakannya Napoleon III (juga dikenal dengan nama Louis-Napoleon). Mereka menggunakan gelar "Kaisar Prancis".[3][4]
Nama Prancis berasal dari suku bangsa Jermanik yang disebut Franka. Raja-raja Merovingia pada awalnya adalah kepala-kepala suku, yang paling awal adalah Chlodio, kemungkinan ayah dari Merovek, yang menurunkan Dinasti Merovingia. Clovis I, cucu Merovek, adalah orang pertama yang menjadi raja. Setelah kematiannya, kerajaannya dibagi di antara anak-anaknya, Soissons (Neustria), Paris, Orléans (Burgundy), dan Metz (Austrasia). Beberapa raja Merovingia berhasil mempersatukan kembali kerajaan tersebut. Tapi setelah kematian mereka, sesuai tradisi bangsa Franka, kerajaannya dipecah-pecah lagi di antara anak-anak mereka. Untuk informasi lebih lanjut, lihat Daftar Raja Franka.
Raja wangsa Meroving yang terakhir, yang dikenal sebagai raja malas, tidak memegang kekuasaan apa pun, sementara Wali kota Istana yang sebenarnya memerintah. Ketika Theuderic IV meninggal tahun 737, Wali kota Istana Charles Martel membiarkan takhta tersebut kosong dan terus memerintah hingga ia meninggal tahun 741. Anaknya, Pippin dan Carloman, pada mulanya mengangkat Childeric III sebagai raja pada tahun 743, tetapi pada tahun 751 Pippin menggulingkan Childerich dan naik takhta sendiri.
Dari raja-raja dinasti Karoling, tiga di antaranya bukan dari dinasti Karoling, yaitu Odo dan saudaranya, Robert I, dan menantu Robert, Raoul/Rudolph. Akhirnya dinasti Robert menjadi Dinasti Kapetia ketika Hughues Capet (anak Hughues yang Agung, anak Robert I) naik takhta tahun 987.
Wangsa Kapetia dari keturunan Hugh Kapet, memerintah Prancis mulai tahun 987 hingga 1792 (Revolusi Prancis), dan memerintah sesaat kemudian pada 1814 hingga 1848. Cabang dinasti ini yang memerintah setelah 1328 disebut dengan nama cabangnya, yaitu Wangsa Valois dan Wangsa Bourbon.
Periode negara ini ditandai dengan jatuhnya monarki, pembentukan Konvensi Nasional dan hal yang terkenal yaitu diadakannya Pemerintahan Teror, pendirian Direktori Prancis dan Reaksi Thermidorian, dan akhirnya, pedirian Konsulat Prancis dan kebangkitan kekuasaan Napoleon I. Periode ini berlangsung tahun 1792 hingga 1804, ketika konsul Napoléon Bonaparte dinobatkan sebagai Kaisar Prancis.
Republik Kedua Prancis berlangsung tahun 1848 hingga 1852, ketika presiden Louis-Napoléon Bonaparte diangkat sebagai Kaisar Prancis.
Dibentuk setelah kekalahan Louis-Napoléon dalam Perang Prancis-Prusia pada tahun 1870 yang mengakibatkan jatuhnya Kekaisaran Prancis Kedua dan berakhir dengan terbentuknya Vichy Prancis setelah Pertempuran Prancis oleh Nazi Jerman pada tahun 1940.
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag
Paris Saint-Germain berhasil menjuarai Piala Liga Prancis di musim 2019/20. Les Parisiens akan menjadi juara terakhir di turnamen tersebut.
Di Stade de France, Sabtu (1/8/2020) dini hari WIB, PSG susah payah merebut trofi ini dari tangan Lyon. Gagal mencetak gol selama 2x45 menit plus babak tambahan, Neymar dkk baru keluar sebagai juara setelah menang adu penalti 6-5.
Tambahan gelar ini memastikan PSG meraih treble domestik di musim ini, setelah sebelumnya berhasil mengamankan gelar Ligue 1 dan Coupe de France. Namun mereka tak akan bisa lagi meraih gelar ini, sebab Piala Liga Prancis akan ditiadakan mulai musim depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada September 2019, LFP selaku operator kompetisi sepakbola profesional di Prancis menyebut turnamen ini akan disetop dalam rangka mengurangi kepadatan jadwal kompetisi. Dengan hanya menyisakan Ligue 1 dan Coupe de France sebagai kompetisi domestik, diharapkan istirahat para pesepakbola di Prancis akan lebih banyak.
"Penyetopan ini membuat kami bisa mengurangi kepadatan jadwal, yang bisa memberikan waktu lebih banyak bagi para pemain untuk memulihkan diri" ujar pernyataan LFP, dikutip BBC.
"Namun tergantung pada permintaan pasar, LFP bisa saja menggulirkan kembali kompetisi ini di kemudian hari," sambung pernyataan itu.
Piala Liga Prancis, atau dikenal dengan nama Coupe de la Ligue, merupakan kompetisi paling muda di Prancis. Berbeda dengan Coupe de France yang membolehkan semua klub di persemakmuran Prancis untuk ikut serta, ajang ini hanya boleh diikuti oleh klub-klub di tiga divisi teratas Liga Prancis.
Digelar mulai 1994/95, turnamen ini awalnya terbentuk karena ketidaksukaan klub-klub pro di Prancis dengan sistem Coupe de France. Dengan format satu leg saja, klub-klub divisi bawah dipastikan selalu mendapat jatah tuan rumah di turnamen tersebut.
Uniknya, PSG juga merupakan juara di edisi perdana pada 1995, dan sekarang mereka kembali menjadi juara di edisi penutup kali ini. Secara keseluruhan, Paris Saint-Germain merupakan peraih trofi terbanyak, yakni 9 kali.
Dengan dihapusnya Piala Liga Prancis mulai musim depan, jatah ke Liga Europa lewat klasemen akhir Liga Prancis dipastikan akan bertambah.
Monarki Prancis punya raja-raja legendaris dan eksentrik. Mungkin, kamu mengenal raja terkenal Louis XIV? Atau Louis XVI yang memiliki isteri dengan julukan madame deficit, Ratu Marie Antoinnette. Raja-raja Prancis memang dikenal glamor dan hidup dalam kemewahan sejak beberapa kepemimpinan sebelum monarki digulingkan.Namun, Prancis juga punya raja bijak yang dapat memerintah kerajaan dengan kebaikan dan keselarasan. Dia adalah Charles V, raja ketiga dari dinasti Valois. Ia hidup di abad pertengahan yang feodal dan erat dengan gereja katolik. Charles V mewarisi kerajaan yang carut-marut karena perang, pemberontakan, dan wabah. Tapi, ia dapat mengubah kesengsaraan itu dan memiliki julukan the wise king atau raja bijaksana. Berikut 7 fakta perjalanan hidup Charles V:
Charles V lahir saat kakeknya bertahta di tahun 1338 Masehi. Perang seratus tahun antara Prancis dan Inggris tengah berkecamuk. Dan pihak kerajaan Prancis menanggung kekalahan militer yang telak. Saat itu juga, pandemi black death juga tengah mewabah yang membunuh sepertiga populasi di Eropa.Saat ayahnya, John II menjadi raja, konflik masih berkecamuk di dalam negeri. Banyak pemberontakan terjadi, hingga tahun 1356 ayah Charles V ditangkap oleh Inggris dalam pertempuran Poitiers. Charles V yang masih muda tertinggal sendirian menghadapi intrik dan pertentangan politik di dalam kerajaan. Pemberontakan kaum petani atas kaum borjuis terus terjadi. Mitra Raja john II, Raja Charles dari Navarre merencanakan untuk menggulingkan dinasti Valois milik Charles V. Serta pandemi yang belum berhenti menjadi masa kelam dan sulit Charles V.Meskipun tumbuh saat perang dan penyakit mewabah, Charles V tumbuh dengan baik. Ia menjadi pemimpin sejati dan mendapat pendidikan yang layak sewaktu masih muda. Charles V dapat membebaskan ayahnya lewat uang tebusan yang ia ambil dari pajak negara. Pajak ini juga yang meredakan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi.
Mengembangkan ilmu pengetahuan dan literatur
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Charles V memiliki fisik yang lemah, tapi ia tetap membuat strategi dan kebijakan untuk meiliternya. Selain itu, masa kepemimpinan Charles V dikenal dengan masa intelektual. Ia mengembangkan ilmu pengetahuan dan filosofi yang belum bisa dilakukan pada masa ayah dan kakeknya karena perang dan wabah. Charles V membantu membiayai setiap literasi dan karya tulis untuk diterjemahkan. Sehingga memajukan khazanah pengetahuan masyarakat saat itu. Ia juga memilih sendiri menteri dan petinggi kerajaan berdasarkan kompetensi dan kecerdasan, yang membuat politik dan ekonomi stabil waktu itu.